Kehidupan ini bagiku penuh misteri. Tanpa aku tau akan hari esok. Sebuah kesaksian yang aku dapat bagikan bagi kalian semua. Aku Rony, lahir dari latar belakang orang tua yang sudah “Kristen”. Sedari kecil aku rajin Sekolah Minggu, dan juga ikut pelayanan ketika beranjak remaja. Intinya keluarga ku merupakan keluarga yang bahagia, sampai ayah ku mulai “nakal”. Semakin tinggi pohon semakin banyak angin menerpanya, sampai akhirnya iman ayahku goyah dan terjerumus dalam dosa. Wanita adalah kelemahannya, sampai akhirnya beliau menjadi berubah kepada keluarga. Aku bersama 2 adikku yang lain merasakan ketidaknyamanan dosa ayahku. Ibuku adalah seorang istri yang tegar, beliau mengajarkan bagaimana ketaatan seorang istri. Seberapapun banyak dosa ayahku, ibuku yang mengajarkan aku untuk tetap hormat kepada ayah. Banyak kejadian pahit yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, bahkan aku sampai memutuskan untuk kuliah di luar kota agar aku jarang melihat kekejaman ayahku kepada ibu dan adik-adik. Piring terbang, disiram es jeruk dan masih banyak hal yang membuatku sangat membenci ayahku. Suatu malam, saat itu aku masih belum memejamkan mata. Acara televisi sudah habis aku bolak balik. Galau adalah perasaan yang bisa aku terjemahkan. Ayah ku sudah masuk ke kamarnya, keadaan rumah sudah sepi dan senyap. Entah dendam yang sudah menguasai pikiranku, aku mengambil tindakan yang diluar akal sehatku. Aku pergi ke garasi mobil ayah dan “mengendurkan” baut ban mobil ayahku. Masih ingat betul aku, ban kanan depan. Dengan harapan ban depan kanan akan lepas pada saat ayahku melaju dengan kecepatan tinggi, dan kecelakaan yang akan menimpanya. Sungguh semuanya aku kerjakan dengan rapi (pakai kaos tangan agar sidik jariku tidak ketahuan). Setelah aku merasa semuanya siap, akhir aku kembali ke kamar. Gelisah hatiku setelah aku implementasikan ide gila itu, rasa bersalah dan aku takut dosa sampai aku dengar sebuah suara. Entah darimana suara itu, aku dengar jelas dan aku resapi. “Ron, mati atau hidupnya ayahmu bukan di tanganmu”. Aku percaya kalimat itu, akhirnya aku kembali ke garasi dan mengencangkan kembali baut ban itu.
Setelah kejadian di malam itu, kehidupan keluargaku tetap, dan tidak ada perubahan bahkan semakin parah. Sebuah pertengkaran hebat yang akhirnya membuat ibuku dan adik-adikku meninggalkan ayahku. Aku sebagai anak tertua, memilih tinggal bersama ibuku. Ditengah kesendirian ayahku makin lama terlihat ”gila”. Kejadian di minggu pagi, Ayahku tanpa diduga menelpon aku dan menyuruhku datang ke tempat beliau bermain tenis. Aku dan adikku yang paling bungsu datang ke lapangan, ternyata ayahku mengalami putus otot kaki nya. Operasi adalah satu-satunya solusi supaya ayahku dapat berjalan lagi. Ibuku hanya menunggui selama ayahku operasi, pasca operasi sudah tidak mau lagi menunggui. Singkat cerita, setelah lulus kuliah aku merantau ke Jakarta. Beberapa bulan di sana aku mendapat telepon dari ibu, “Ron, bapak pulang ke rumah”. Sungguh hal yang aneh bagiku, seorang laki-laki yang memilih berpisah dari dari keluarganya akhirnya mau kembali ke keluarganya. Aku hanya merespon, “Ya udahlah Ma, dilihat nanti bagaimana kelanjutannya saja”. Pada saat aku cuti, aku pulang ke rumah ibuku. Disana ternyata sudah ada ayahku. Agak kaku memang, tapi ya sudahlah. Aku tidak mau membuka pembicaraan dengan ayahku, sampai beliau malam itu mengajak kami sekeluarga doa bersama. Setelah kami berdoa, ayahku menanyaiku, ”Kamu masih marah sama bapak?” Aku jawab, “Buat apa? Kalo aku niat sudah dari dulu bapak itu mati”. Ayahku terdiam sejenak dan berkata, “Kenapa kamu nggak bunuh saja aku dari dulu?”. Aku jawab sambil menahan emosi dan hampir menangis, ”Pak, mati atau hidupmu itu bukan ditanganku, jadi aku tidak berhak mencabut nyawamu”. Tercenganglah ayahku mendengar kalimat itu. Beliau mulai bercerita kenapa bisa beliau akhirnya memutuskan untuk kembali ke keluarga ini, rupanya setelah kejadian operasi otot kaki maka ayahku sadar bahwa itu adalah “peringatan” dari Tuhan. Dan semenjak itu ayahku bertobat. Aku senang dengan pertobatan ayahku, akhirnya dosa bukan menjadi penghalang untuk aku menjadi dendam padanya, aku pun mengampuni beliau. Sejahat-jahat nya beliau, beliau tetaplah ayah yang diberikan Tuhan buat aku. Sampai akhirnya aku menikah, beliau masih menyaksikan. 2 bulan setelah pernikahan ku, ayahku dipanggil Tuhan, dan sekarang aku yakin bahwa beliau bersama dengan Tuhan Yesus di Sorga. Tuhanlah yang telah mengatur segalanya dalam kehidupanku sampai saat ini. Memang aku tak akan tahu apa yang terjadi esok hari, tapi aku percaya Tuhan Yesus yang selalu menjagaku menjalani hari-hariku kedepan. Bila Tuhan mampu mengawal kehidupan ayahku, maka Tuhan yang sama yang mengawal kehidupanku. (Sumber kesaksian : Sdr. Roni)
Saudara, kesaksian di atas merupakan sebuah kesaksian hidup dari seorang teman kami yang bergabung di blog RealFresh www.terangku.blogspot.com. Sungguh luar biasa ketika media itu digunakan untuk sesuatu hal yang baik, maka ia akan menjadi sebuah senjata yang luar biasa, seperti sebuah pisau di tangan koki yang handal. Oleh karena itu, mari kita terus menjadi saksi Tuhan kapan pun, dimana pun, dan melalui apa pun. Tuhan memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Artikel ini bisa dikomentari melalui kotak dibawah ini