Selasa, 27 Maret 2012

THE NEXT THREE DAYS


            Film ini merupakan salah satu film tersukses di 2010. Film ini merupakan film keluarga dan banyak memberikan contoh tentang pengorbanan seorang ayah. Meskipun dalam film ini sang ayah melakukan banyak sekali tindakan yang melanggar hukum untuk membebaskan istrinya dari tahanan, namun ada lebih banyak sisi positif yang dapat kita peroleh dari film ini.
            Cerita ini berawal ketika John Brennan (Russel Crow) mempunyai seorang istri yang dituduh melakukan suatu pembunuhan. Sesungguhnya sang istri bukanlah pelaku sesungguhnya. Sang istri hanya memarkir mobil di TKP tempat ditemukannya korban, yang mengakibatkan sang istri menjadi tersangka utama dan akhirnya ditahan. Kehidupan yang sempurna bersama istri dan seorang anak yang dimiliki John Brennan harus berakhir saat itu
Tidak percaya dengan hal tersebut, John melakukan berbagai cara untuk membuktikan bahwa istrinya tidak bersalah dan mencoba mengajukan banding, namun ditolak. John tidak putus asa, sampai ia gelap mata dengan menghalalkan berbagai cara untuk membebaskan istri yang sangat dicintainya.
John bukanlah penjahat hebat yang bisa menerobos penjara dengan penjaga yang super ketat. Namun John menghiraukannya dengan menyusun berbagai siasat dengan memasuki dunia yang mengancam nyawanya. Semua dilakukan demi sang istri tercinta.
Paul Haggis sebagai sutradara sekaligus penulis dalam film produksi Maple Pictures ini berhasil mengemasnya dengan baik. Berbagai adegan dibalut dengan adegan yang dramatis. Rasa cintanya kepada sang istri yang begitu kuat bisa Anda rasakan lewat adegan yang digambarkan Russel Crow saat menjenguk di penjara dan melakukan berbagai cara untuk membebaskan istrinya.
            Kita belajar betapa besarnya pengorbanan seorang ayah demi keluarga yang dicintainya. Kita juga merasakan kasih yang sama dari Bapa kita, yang merelakan Yesus Kristus mati di kayu salib untuk membawa kita keluar dari penjara dosa. So why not you try to watch it!!!


Rabu, 21 Maret 2012

KISAH PETANI DARI TEMANGGUNG


Santai, itu kesan pertama yang tertangkap dari sosok Muryanto (52), petani tembakau dari Temanggung. Sesekali senyum lebar diikuti tawa renyah menghias ruang tamunya yang berukuran sedang itu. Ceritanya asyik. Sekaligus menyentak.
Siapa menyangka, di balik penampilannya yang sederhana itu, Muryanto adalah salah seorang petani tembakau yang berhasil. Dibantu beberapa orang pekerja, ia menggarap sawah seluas kurang lebih lima ribu meter persegi untuk ditanami tembakau dan padi sebagai selingan.
TERGIUR
Muryanto mulai bertanam tembakau sejak tahun 1989. Awalnya tergiur. Tembakau menjanjikan banyak sekali keuntungan. Proses pemeliharaannya lebih mudah. Hasilnya pun lebih keliatan. “Apalagi sekarang. Sepanjang sejarah, baru kali ini saya merasakan nilai tembakau yang sangat tinggi. Bagaimana tidak fanatik,” ujarnya berkelit saat ditanya soal kontroversi tanaman ini.
Temanggung memang gudangnya tembakau. Iklimnya sangat cocok. Meski pihak pemerintah, maupun yang lain, pernah menyarankan agar petani Temanggung mencoba mengusahakan tanaman lain, apa boleh buat, namanya orang hidup, kebutuhan lebih berbicara.“Di sini, semuanya dikerjakan bersamasama dengan tetangga. Kita saling berbagi. Misalnya saya punya lahan setengah hektar, ditanami tanaman tertentu, hasilnya tidak seberapa. Coba tanam tembakau, di musim seperti ini hasilnya sangat lumayan,” aku Muryanto.Saat musim menanam, sehari-hari Muryanto menghabiskan waktunya di sawah. Bersama beberapa orang pekerja, ia menjaga tanamannya itu dengan teliti. Kurang lebih empat bulan kemudian, tembakau sudah siap dipanen.
ILMU KIRA-KIRA Muryanto melambaikan tangannya dengan ramah kepada seorang pengendara motor yang lewat. Sembari berjalan menuju tempat pemotongan daun tembakau tidak jauh dari rumahnya, ia terus bercerita. Menurutnya, untuk menggaji para pekerja yang membantunya, ia lebih suka menggunakan ilmu kira-kira. Berdasarkan niat tepa salira terhadap sesama. “Yang bantu tidak rugi, buat saya juga tidak terlalu mahal,” ujarnya.
Di tempat pemotongan, Sriyati, Ramini, Suryati, dan Sukarni, sedang asyik bercakap-cakap sambil terus memisahkan helai-helai daun tembakau. Meski tidak lagi muda, mereka tampak ceria dan bersemangat. Untuk pekerja yang membantu sehari-hari, Muryanto memberi 40 ribu perhari.
Tidak hanya sebagai petani, Muryanto juga jual beras. Caranya rada nyentrik. Konsumen yang ingin membeli beras bisa telpon langsung, lalu beras akan diantar sampai rumah. Kualitasnya terjamin karena Muryanto mengolahnya dari gabah.
“Saya bertekad untuk berbeda dari orang lain. Orang lain bisa tipu sana tipu sini, saya nggak begitu. Garansi pokoknya.”
Laki-laki tiga anak dan satu cucu ini adalah mantan majelis selama 21 tahun. Ia juga masih dijadwal untuk mengisi khotbah di gerejanya, GKJ Temanggung. Nilai-nilai hidup yang dipegangnya berpengaruh sangat kuat terhadap masyarakat sekitar. Termasuk soal bagaimana memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan ekonomi di negeri ini, yang lebih sering dikutuki ketimbang dipecahkan.

Sumber : eBahana


PERTOLONGAN DI SETIAP PERSIMPANGAN JALAN


Kesulitan hidup mengajar Berliana Renta Simangunsong tak bosan berjuang. Berjalan berkilo-kilo meter, mendatangi rumah-rumah, mencari dan membeli pakaian bekas. Menjualnya kembali ke pasar Tanah Abang. Setelah 11 tahun, tiga tahun lalu, Renta memiliki 2 kios yang saban hari didatangi orang-orang yang bekerja seperti dirinya beberapa tahun lalu.
Sering peristiwa buruk datang tak terduga. Keadaan yang nyaman, aman tiba-tiba berubah menjadi sebaliknya. Setelah menikah tiga tahun, suami Renta, Samuel Lewerissa yang bekerja di bagian fire safety perusahaan minyak di Dumai tersandung PHK tanpa sebab yang jelas. Yang melakukan ketidakjujuran temannya, tapi suaminya terkena imbas. Oleh beberapa orang suami saya disuruh klarifikasi dan minta maaf tapi dia enggak mau. Ia tak mau minta maaf untuk kesalahan yang tak dilakukannya. Keuangan keluarga kecil itu terguncang karena selama ini penghasilan Samuel lumayan besar. Renta tak bekerja.
PINDAH KE JAKARTA
Bermaksud mencari kehidupan yang baik, mereka pindah dari Pekanbaru ke Jakarta tahun 1994. Tinggal bersama kakak laki-laki dari Samuel, keadaan ekonominya lumayan baik. Oleh beberapa saudaranya, Samuel dicarikan pekerjaan tapi selalu saja tak betah.

PUTUS ASA
Menumpang di rumah ipar terlalu lama membuat batin Renta tersiksa. Perasaan tak enak, apa lagi tatkala anak-anak menangis, berisik atau tanpa sengaja menjatuhkan barang-barang pajangan. Setiap Renta minta pada Samuel keluar dari rumah itu selalu diakhiri dengan adu mulut.

Suatu sore, Renta dan Samuel bertengkar. Renta mengaku tak tahan dengan cara hidup seperti itu. Sampai kapan bergantung kepada orang lain? Renta makin kalut. “Malam itu aku ambil cairan pembasmi nyamuk dan ke kuburan Menteng Pulo yang tak jauh dari rumah ipar. Tanpa pikir panjang, aku menenggak obat nyamuk itu.” Syukurlah jiwanya tertolong. Seorang yang mengenalinya, menemukan Renta pingsan. Ia segera dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Renta rawat inap selama tiga minggu. Kulit dan bibirnya mengelupas, pipinya terasa panas. “Aku minta ampun kepada Tuhan atas tindakan bodoh itu,” kenang wanita kelahiran 20 Juni 1969 ini.

TEKAD MANDIRI
Samuel masih enggan meninggalkan rumah itu. Namun, keinginan untuk hidup mandiri wanita yang kini berusia 42 ini, makin kuat. “Satu kali ikut pembantu ipar saya ke rumahnya di
daerah Manggarai. Rumah gubuk kecil. Dari situlah terdorong bekerja sekalipun jadi tukang cuci.” Renta masih punya simpanan emas yang ia bawa dari Pekanbaru. Tekadnya bulat. Mengontrak rumah kecil di daerah Pondok Kopi. Membuat warung yang menjual kebutuhan sehari-hari. Suaminya tak juga mau pindah dan tak boleh membawa anak-anaknya. Usaha Renta maju. Suami dan anak-anak tinggal bersamanya. Tak lama dagangannya bangkrut. Akibatnya suami membawa anak pergi lagi.

Renta menawarkan jasa cuci pakaian yang dikerjakannya di kontrakan dan berjualan dengan modal seadanya. “Beli mie instan dua bungkus, obat nyamuk. Lalu aku juga jualan minyak tanah. Keadaan mulai membaik. Suami dan anak-anak datang lagi. Karena sakit komplikasi di usus, ginjal, dan liver, suami meninggal 22 Maret 2000, seminggu setelah operasi.”

Renta terpikir pulang kampung ke Tarutung. Kakak dan adik Samuel tidak setuju. “Mereka bilang, tetaplah di Jakarta, mereka akan membantu membiayai hidup sehari-hari dan sekolah anak-anak kami,” kata Renta. Dagangan habis. Renta mengajak lima anaknya ke rumah kakak dan adik Samuel di daerah Cijantung. Satu anaknya waktu itu sedang tidak di rumah. “Aku pinjam uang tujuh ribu rupiah pada tetangga. Kami naik bus. Saat itu kami belum makan. Kubilang nanti makan di rumah om dan tante. Rumah mereka berdekatan. Di bus kusuruh anak-anak berdiri biar mengurangi ongkos.”

Tapi apa yang terjadi jauh dari harapan. Lima keluarga yang mereka datangi tak ada satupun yang menawari mereka makan dan memberi uang. Renta pun tak berani minta apalagi menagih janji bantuan. “Kami pamit. Uang di tanganku tinggal dua ribu rupiah. Kami berjalan melewati jembatan Kali Sari. Air mataku terus jatuh, anak-anak mengeluh lapar. Kuajak kelima anakku berhenti. Kupandangi sungai. Terbersit menyeburkan diri bersama lima anakku. Namun, terdengar suara yang mencegah tindakan nekat itu. Aku ingat Tuhan.”

Bus penuh. Mereka semua berdiri. Anak-anak minta makan, “Ma …makan… lapar…”. Renta menangis sesenggukan. Penumpang mulai turun, seorang ibu paruh baya menawari duduk di sebelahnya dan bertanya, “Kenapa kamu menangis?” Renta bercerita. “Sudah, kamu jangan menangis. Di sinilah kita dipertemukan Tuhan. Saya juga bingung kenapa naik bus ini. Seharusnya saya naik taksi. Saya bawa uang pembayaran rumah saya yang dikontrak sama orang asing. Percaya saja kamu sama Tuhan, Dia pasti menolongmu,” kata wanita tadi. Oleh ibu tersebut, seingat Renta namanya Ibu Sitorus, mereka turun di Metropolitan Mall Bekasi. Mereka diajak makan sampai kenyang. “Kami diberi uang taksi untuk pulang dan uang Rp. 300.000. Seperti mimpi.”

BAJU BEKAS
Uang pemberian menjadi modal usaha Renta. Ia mencari baju bekas dari rumah ke rumah. Jalan kaki ke perkampungan di Jakarta sampai daerah Puncak. Setelah baju didapat jam dua pagi dini hari, baju itu dijual ke Pasar Tanah Abang. Dari usaha itu anak-anak bisa sekolah dengan baik.

Banyak kenangan selama menjalani usaha baju. “Tahun 2007, aku mencari baju. Melewati pepohonan. Aku bertemu seorang ibu yang mengatakan kalau ada jalan pintas tapi aku harus melewati jalan gantung yang sangat sempit. Berani kamu? Tanya ibu tadi. Ya, Tuhan, bagaimana aku bisa melewati ini? Barang ini enggak mungkin ditinggal, karena inilah yang kucari seharian. Sambil melangkah aku bernyanyi lagu yang kata-katanya begini Tuhan Yesus setia, Dia sahabat kita, Dalam segala susahku selalu menghiburku, Dia mengerti bahasa, tetesan air mata. Tak sadar aku telah melewati jembatan itu. Sepanjang perjalanan itu air mataku menetes. Aku berdoa untuk kendaraan. Malam sangat sepi. Tiba-tiba ada mobil bak mengangkut kambing. Mereka mengizinkan aku naik meskipun harus bareng kambing. Tuhan itu baik banget.”

Ia bertemu Bu Haji, langganannya sedang di warung membeli sabun. “Tante enggak ingat, belum lama baru ambil baju dari saya? Tapi kalau popok sih ada, mau?” kata Bu Haji. Renta menerima tawaran. “Nah, itu lemari belakang bongkar saja,” kata Pak Haji saat melihat Renta.

Ketika dibongkar banyak baju-baju batik bagus, masih baru, beberapa malah belum dipakai diserahkan kepada Renta. Bagaimana bayarnya? Pikir Renta. Tak lama anaknya Pak Haji datang, juga membongkar lemarinya. Dua karung Renta penuh. “Aku tanya, Bu Haji, berapa ini harus kukasih uang? Dia jawab, oh, enggak usah, Tante. Pakai saja uangmu untuk ongkosmu! “

Esok paginya pakaian itu laku tujuh ratus ribu rupiah. Uang itu dipakai Renta untuk membayar kontrakan dan biaya sekolah.

Tiga tahun lalu Renta membeli dua kios seharga Rp. 60 juta. Kini ia menampung pakaian bekas dari orang-orang yang bekerja seperti dirinya di waktu lalu. Pembeli berdatangan dari Lampung dan Jawa Tengah. “Saya bersyukur atas pertolongan Tuhan. Anak-anak semua sekolah bahkan sudah ada yang bekerja. Tuhan tidak pernah meninggalkan kami,“ saksi ibu dari Jemy, Maria Yance, Yurike, Welli, dan Silviana ini.


FILOSOFI PENSIL


Setiap orang membuat kesalahan. Itulah sebabnya, pada setiap pensil ada penghapusnya"

Kali ini saya ingin menceritakan kepada Anda sebuah kisah penuh hikmah dari sebatang pensil. Dikisahkan, sebuah pensil akan segera dibungkus dan dijual ke pasar. Oleh pembuatnya, pensil itu dinasihati mengenai tugas yang akan diembannya. Maka, beberapa wejangan pun diberikan kepada si pensil. Inilah yang dikatakan oleh si pembuat pensil tersebut kepada pensilnya.

"Wahai pensil, tugasmu yang pertama dan utama adalah membantu orang sehingga memudahkan mereka menulis. Kamu boleh melakukan fungsi apa pun, tapi tugas utamamu adalah sebagai alat penulis. Kalau kamu gagal berfungsi sebagai alat tulis. Macet, rusak, maka tugas utamamu gagal."

"Kedua, agar dirimu bisa berfungsi dengan sempurna, kamu akan mengalami proses penajaman. Memang meyakitkan, tapi itulah yang akan membuat dirimu menjadi berguna dan berfungsi optimal".

"Ketiga, yang penting bukanlah yang ada di luar dirimu. Yang penting, yang utama dan yang paling berguna adalah yang ada di dalam dirimu. Itulah yang membuat dirimu berharga dan berguna bagi manusia".

"Keempat, kamu tidak bisa berfungsi sendirian. Agar bisa berguna dan bermanfaat, maka kamu harus membiarkan dirimu bekerja sama dengan manusia yang menggunakanmu" .

"Kelima. Di saat-saat terakhir, apa yang telah engkau hasilkan itulah yang menunjukkan seberapa hebatnya dirimu yang sesungguhnya. Bukanlah pensil utuh yang dianggap berhasil, melainkan pensil-pensil yang telah membantu menghasilkan karya terbaik, yang berfungsi hingga potongan terpendek. Itulah yang sebenarnya paling mencapai  tujuanmu dibuat".

Sejak itulah, pensil-pensil itu pun masuk ke dalam kotaknya, dibungkus, dikemas, dan dijual ke pasar bagi para manusia yang membutuhkannya.

Saudara, pensil-pensil ini pun mengingatkan kita mengenai tujuan dan misi kita berada di dunia ini. Saya pun percaya bahwa bukanlah tanpa sebab kita berada dan diciptakan ataupun dilahirkan di dunia ini. Yang jelas, ada sebuah purpose dalam diri kita yang perlu untuk digenapi dan diselesaikan.

Sama seperti pensil itu, begitu pulalah diri kita yang berada di dunia ini. Apa pun profesinya, saya yakin kesadaran kita mengenai tujuan dan panggilan hidup kita, akan membuat hidup kita menjadi semakin bermakna.

Hilang arah
Tidak mengherankan jika Victor Frankl yang memopulerkan Logoterapi, yang dia sendiri pernah disiksa oleh Nazi, mengemukakan "tujuan hidup yang jelas, membuat orang punya harapan serta tidak mengakhiri hidupnya". Itulah sebabnya, tak mengherankan jika dikatakan bahwa salah satu penyebab terbesar dari angka bunuh diri adalah kehilangan arah ataupun tujuan hidup. Maka, dari filosofi pensil di atas kita belajar mengenai lima hal penting dalam kehidupan.

Pertama, hidup harus punya tujuan yang pasti. Apapun kerja, profesi atau pun peran yang kita mainkan di dunia ini, kita harus berdaya guna. Jika tidak, maka sia-sialah tujuan diri kita diciptakan. Celakanya, kita lahir tanpa sebuah instruksi ataupun buku manual yang menjelaskan untuk apakah kita hadir di dunia ini. Pencarian akan tujuan dan panggilan kita, menjadi tema penting selama kita hidup di dunia.

Yang jelas, kehidupan kita dimaknakan untuk menjadi berguna dan bermanfaat serta positif bagi orang-orang di sekitar kita, minimal untuk orang-orang terdekat. Jika tidak demikian, maka kita useless, tidak ada gunanya. Sama seperti sebatang pensil yang tidak bisa dipakai menulis, maka ia tidaklah berguna sama sekali.

Kedua, akan terjadi proses penajaman sehingga kita bisa berguna optimal, oleh karena itulah, sering terjadi kesulitan, hambatan ataupun tantangan. Semuanya berguna dan bermanfaat sehingga kita selalu belajar darinya untuk menjadi lebih baik. Ingat kembali soal Lee Iacocca, salah satu eksekutif yang justru menjadi besar dan terkenal, setelah dia didepak keluar dari mobil Ford. Pengalaman itu justru menjadi pemacu semangat baginya untuk berhasil di Chrysler.

Ingat pula, Donald Trump yang sempat diguncang masalah finansial dan nyaris bangkrut. Namun, kebangkrutannya itulah yang justru menjadi pelajaran dan motivasi baginya untuk sukses lebih langgeng. Kadang penajaman itu 'sakit'. Namun, itulah yang justru akan memberikan kesempatan kita mengeluarkan yang terbaik.

Ketiga, bagian internal diri kitalah yang akan berperan. Saya sering menyaksikan banyak artis, ataupun bintang film yang terkenal, justru yang hebat bukanlah karena mereka paling cantik ataupun paling tampan. Tetapi, kemampuan dalam diri mereka, filosofi serta semangat merekalah yang membuat mereka menjadi luar biasa. Demikian pula pada diri kita. Pada akhirnya, apa yang ada di dalam diri kita seperti karakter, kemampuan, bakat, motivasi, semangat, pola pikir itulah yang akan lebih berdampak daripada tampilan luar diri kita.

Keempat, pensil pun mengajarkan agar bisa berfungsi sempurna kita harus belajar bekerja sama dengan orang lain. Bayangkanlah seorang aktor atau aktris yang tidak mau diatur sutradaranya. Bayangkan seorang anak buah yang tidak mau diatur atasannya. Ataupun seorang service provider yang tidak mau diatur oleh pelanggannya. Mereka semua tidak akan berfungsi sempurna. Agar berhasil, kadang kita harus belajar dari pensil untuk 'tunduk' dan membiarkan diri kita berubah menjadi alat yang sempurna dengan belajar dan mendengar dari ahlinya. Itulah sebabnya, kemampuan untuk belajar bekerja sama
dengan orang lain, mendengarkan orang lain, belajar dari 'guru' yang lebih tahu adalah sesuatu yang membuat kita menjadi lebih baik.

Terakhir, pensil pun mengajarkan kita meninggalkan warisan yang berharga melalui karya-karya yang kita tinggalkan. Tugas kita bukan kembali dalam kondisi utuh dan sempurna, melainkan menjadikan diri kita berarti dan berharga. Itulah filosofi 'memberi dan melayani'
yang diajarkan oleh Tuhan kita. Itulah sebabnya Ibu Teresa dari Calcutta ataupun Albert Schweitzer yang melayani di Afrika lebih mengumpamakan diri mereka seperti sebatang pensil yang dipakai oleh Tuhan.

Yang penting, hingga pada akhir kehidupan kita ada karya ataupun hasil berharga yang mampu kita tinggalkan. Tentu saja tidak perlu yang heboh dan spektakuler. Relakan hidup kita untuk dipakai Tuhan, dan kita akan melihat kemuliaan Tuhan turun dalam hidup kita. Tuhan memberkati.

Sumber : Internet


Pengikut Akun Facebook

Pengikut akun Twitter atau Blogger